Blokir Situs Islam Provokatif dan Kominfo Menuai Kritik - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia belakangan ini gencar memblokir sejumlah situs yang dianggap menebar provokasi dan SARA. Namun, blokade tersebut memicu protes dari sejumlah pihak, karena sebagian besar pemblokiran dilakukan di situs-situs Islam.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR RI Peneliti menyatakan pemblokiran Kominfo Menuai Kritik di situs Islam tidak boleh diulang. Situs yang dibanned Kominfo harus dilakukan pada akhirnya, pemblokiran ini harus diambil sebagai upaya terakhir setelah latihan. Ini tentunya menjadi tanggung jawab kita semua, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah, agar kita bisa bersama-sama menciptakan dunia maya yang beradab sebagai ruh dari UU ITE.
Peneliti juga meminta Kominfo bekerja secara sistematis, terukur dan teratur dalam melakukan pemblokiran. Itu bisa dimulai dengan membuat aturan khusus tentang pemblokiran. Segera buat Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemblokiran yang mengatur kriteria dan parameter apa yang dilarang, siapa yang berhak melakukan pemblokiran, bagaimana prosedurnya, siapa yang melakukan tindakan, dan lain sebagainya.
Segera buat unit khusus untuk menangani hal ini sesuai amanat UU ITE Pasal 40 ayat 6. Peneliti menjelaskan bahwa regulasi ini perlu dikedepankan karena akan berkelanjutan, berjangka panjang, dan lebih efektif. Adapun pemblokiran media online harus menjadi solusi terakhir setelah media yang bersangkutan tidak berfungsi meski sudah diberikan pembinaan.
Menurut sekretaris Fraksi PKS, di era demokrasi sekarang ini, masyarakat harus diberikan aturan yang jelas dan jelas. Tidak boleh ada aturan abu-abu. Ia menambahkan, tanpa aturan yang jelas dan jelas, tindakan pemblokiran hanya akan menimbulkan masalah baru yang tidak perlu dan akan memberi kesan bahwa pemerintah bertindak berlebihan, semena-mena, serta lalim atau anti kritik.
Bagaimana Fenomena Pemblokiran yang Marak di Kominfo ?
Melihat fenomena pemblokiran yang marak di Kominfo belakangan ini, peneliti tidak menampik adanya kesan ketidakadilan. Menurut dia, pemerintah harus menertibkan situs-situs yang ada tanpa pandang bulu, terlepas dari konten agama atau komunitas tertentu. Jangan misalnya lebih suka memblokir situs dengan konten keagamaan tertentu, tapi situs dengan konten religius lain yang juga dianggap bertentangan dengan UU ITE, bahkan ada yang lebih buruk, tapi tidak dituntut. Lebih jauh, ia melihat situs yang diblokir sebenarnya adalah situs yang sering membuat pernyataan yang bertentangan dengan pemerintah, atau situs yang kerap mengkritisi kinerja Jokowi-JK.Sementara itu, situs-situs yang banyak memuji dan memuji pemerintah, namun isinya bisa disebut melanggar UU ITE, tetap diabaikan. Saya khawatir ketidakadilan seperti ini akan membuat suasana semakin tidak terkendali, karena masyarakat akan lebih mudah marah dan protes.
Doktor lulusan Universitas Salford, Inggris ini juga memberikan masukan dari pemerintah agar dapat memprioritaskan penertiban situs yang berisi seruan untuk memberontak terhadap NKRI. Prioritas berikutnya ditujukan pada situs-situs bernuansa ekstrim, intoleransi, atau situs yang berisi seruan untuk melakukan teror, baik yang menggunakan proposisi agama maupun yang tidak menggunakan proposisi agama, apapun agama atau alirannya.
Begitu pula dengan situs-situs Kominfo Menuai Kritik ekstrem lain yang mendasarkan diri pada ideologi lain di luar doktrin agama atau Pancasila. Menurut Peneliti, daripada situs berita,
buka situs yang diblokirsemacam itu lebih penting untuk ditindak karena pada prinsipnya tidak sesuai dengan norma Pasal 29, 45A dan 45B UU ITE.